Istilah ini muncul dari manajer bisnis top dan terlibat dalam pemasaran dari Procter & Gamble (dikenal juga P&G) ketika menampilkan iklannya di media pada periode 1950-an dan 1960-an. Above the line jelas memiliki tantangan yang berat mengingat publikasi disampaikan menuju massa yang ramai. Apalagi setiap target pasar memiliki selera dan kebutuhan yang berbeda. Selain itu, promosi above the line juga bisa menjadi sangat mahal.
Metode above the line dapat dilakukan di berbagai target pasar. Contohnya, melalui iklan di koran atau tv. Masing-masing jalur memiliki karakter pengguna sendiri. Pembaca koran mungkin membaca koran di pagi hari saat pagi hari, dewasa, dan mencari update informasi terbaru secara lengkap. Sementara untuk penonton TV mengakses TV saat sore atau malam hari, remaja, dan ingin menikmati hiburan.
Contoh Penerapan
Brownies Amanda adalah salah satu usaha yang berekspansi di berbagai daerah di Indonesia. Brownies dari Bandung ini menjalankan metode Above the Line melalui promo di media massa yang periodik dan non-periodik. Menurut info dari SWA di tahun 2012, Amanda menghabiskan 50% dari anggaran untuk above the line melalui pemasangan billboard. Sisa anggaran ini dihabiskan untuk publikasi via surat kabar dan internet. Untuk meningkatkan efektivitas pemasarannya, Amanda melakukan penyempurnaan logo agar hingga mudah diingat.Mengapa Above The Line?
Beberapa keunggulan above the line telah ada di penjelasan sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa kelemahan, sebenarnya kelemahan tersebut dapat berubah menjadi peluang jika perusahaan cerdik dan cekatan mengambil kesempatan. Berikut peluang dari above the line yang sebenarnya sering dianggap sebagai kelemahannya.- Menjadi lebih dekat dengan memanfaatkan jalur pemasaran yang lebih spesifik.
Menggunakan above the line secara sporadis jelas akan menghabiskan banyak uang. Kini, terdapat beberapa jalur pemasaran yang efektif menyasar target tertentu entah karena teknologi, brand positioning, atau pergeseran budaya. Dengan teknologi, google menjadikan kampanye iklan melalui mereka menjadi sesuai sasaran dan kebutuhan pengiklan. Dengan brand positioning, beberapa majalah kini semakin berfokus tak hanya pada demografis pembaca, tetapi juga psikografis pembaca. Dengan pergeseran budaya, bioskop kini dapat berkembang menjadi salah satu media pemasaran. Mungkin ke depannya taksi atau kacamata dari google? - Menjadi lebih modern dengan kemajuan teknologi
Above the line sering dipandang sebagai metode yang kuno. Well, sepertinya tidak lagi untuk ke depannya. Jejaring sosial, apps, game, dan konten-konten interaktif lainnya dapat membuat metode above the line menjadi lebih modern. Apalagi jika setiap channel saling terintegrasi satu sama lain. Kini, beberapa poster telah menggunakan QR-Code yang terhubung dengan informasi secara online mengenai apa yang ada di poster. Mungkin augmented reality akan jadi bentuk pemasaran berikutnya? Siapa tahu. - Menjadi lebih murah dengan membuat kehebohan
Meski klasik, tapi hal ini masih jadi metode yang efektif. Belum seminggu, sebuah rumah produksi menimbulkan kehebohan dengan membuat kafe "dumb starbucks".Di kafe ini, kopi dijual secara gratis. Menu kopi yang tersedia merupakan menu kopi dari starbucks dengan ditambah kata "dumb". Hasilnya? Liputan TV, koran, media online, dan jejaring sosial langsung membludak. Mereka sukses diliput BBC, usa today, dan Bloomberg. Hingga 15 Februari 2014, akun twitter mereka telah diikuti lebih dari 15 ribu follower. Beresiko? Jelas. Bahkan Julia Peres dan Dewi Persik pun akhirnya benar-benar berseteru hingga berakhir di meja hijau. Padahal niatnya mau promosi film.
Jelas above the line bukanlah sesuatu yang mesti dianggap menakutkan lagi, entah karena mahal atau beresiko. Mungkin ada baiknya usaha, entah kecil atau menengah, mencoba untuk melakukan promosi above the line.
No comments:
Post a Comment